Mengapa Nabi Muhammad Hidupnya Menderita?
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuhAl-hamdulillah, wash-shalatu wassalamu 'ala rasulillah, wa ba'du
Tidak ada yang menyangkal bahwa Rasulullah SAW adalah kekasih Allah SWT. Namun bentuk kasih itu tidak selalu dinyatakan dengan kenikmatan duniawi atau keluasan kekayaan material. Apalah arti kenikmatan material seperti harta, uang, emas, atau kekayaan yang dimiliki manusia umumnya, sebab buat Rasulullah SAW semua itu bisa segera didapatnya cukup dengan berdoa. Dan doa itu tidak pernah ditolak. Namun beliau memang tidak butuh semua itu, maka beliau pun tidak pernah memintanya.
Bagi beliau, semua itu tidaklah membuatnya bahagia. Sebab buat orang seperti beliau, kebahagiaan itu tidak diukur dengan materi. Melainkan terukur dari aktualitasi diri dan kesuksesan menjalankan tugas. Tugas beliau adalah menyampaikan dan membina umat manusia menjadi muslim yang baik, dengan cara-cara yang masuk akal, manusiawi dan berbekas yang mendalam. Maka berlelah-lelah dalam perjuangan, ikut berpanas-panas dalam peperangan, terkena resiko terluka atau mati di medan laga, justru sebuah kenikmatan baginya. Beliau justru sangat menikmatinya. Sebuah kenikmatan yang tidak bisa dibandingkan dengan kekayaan atau bentuk kenikmatan lainnya.
Kalau pun Allah SWT memberinya rezeki, pasti tidak akan pernah lama ada di tangannya. Biasanya beliau segera menginfaqkannya kepada kaum muslimin. Sebab dalam banyak riwayat kita mendapatkan data bahwa pada hakikatnya Rasulullah SAW itu sangat kaya secara materi. Beliau punya penghasilan yang sangat besar, jauh lebih besar dibandingkan orang yang paling kaya sekalipun. Namun beliau tidak pernah menikmatinya sendirian, kepentingan kaum muslimin baginya jauh lebih penting. Sementara asap dapurnya pernah tiga bulan tidak mengepul, saking bersahajanya kehidupan beliau.
Lagi pula beliau toh sudah dijamin masuk surga, bukan? Jadi buat apa repot-repot mengumpulkan kesenangan duniawi lagi. Apalagi kita semua tahu bahwa hidup di dunia ini hanya sekejap saja. Sedangkan pasca kematian, masih ada beberapa kehidupan lainnya lagi yang sudah pasti akan terjadi. Jadi kalau Rasulullah SAW hidup sederhana, serba kekurangan, bersahaja, atau miskin, tidak ada artinya bagi beliau.
Kita bisa membuat sebuah perumpamaan seseorang yang kaya dan hidup mewah di kota yang serba lengkap. Kadang-kadang ingin selingan hiburan berkemah ke hutan, memasak dengan kayu bakar, mandi di kali, tidur beratap tenda seadanya. Semua itu tidak berarti bahwa dia melarat, melainkan dia justru sedang bersenang-senang. Toh perkemahan yang dilakukannya hanya sehari dua hari, tidak selamanya dia tidur di tenda. Besok dia akan pulang ke kota yang serba mewah dan lengkap, kembali ke kehidupan normalnya, bersama dengan pelayan dan fasilitasnya. Buat apa berkemah kalau segala kemewahan kota dibawanya juga? Begitu juga dengan Rasulllah SAW, beliau sudah memiliki tempat pribadi paling mewah di surga, kalau sementara ini beliau hidup sederhana, anggaplah beliau sedang berkemah sementara. Sebab dalam pandangan beliau, dunia itu hanya sebuah selingat sekejap saja.
Maka kita pun sebagai ummat beliau, hendaklah mengikuti cara pandang beliau. Kita tidak perlu bergantung terlalu berlebihan terhadap kenikmatan duniawi. Toh semua ini hanya sementara. Yang penting bagaimana tugas asasi kita sebagai hamba Allah bisa sukses dalam waktu yang sekejap ini. Yaitu beribadah, menjalan syariat-Nya dan memperjuangkannya sampai tetes darah yang penghabisan. Biarlah di dunia ini kita hidup melarat, miskin, kurus, tidak punya harta atau kurang makan, asalkan prestasi kita sebagai hamba Allah terjamin bernilai tinggi. Sebab sebentar lagi kita toh akan segera meninggalkan dunia yang fana ini. Semoga keikhlasan dan amal kita di dunia ini bisa membuat Allah SWT mengasihi kita dan membukakan pintu surga buat kita.
Namun bukan berarti kita diharamkan memiliki kekayaan dan kesenangan di dunia ini. Semua itu boleh, tapi yang penting jangan sampai kita menjadikannya sebagai obsesi kehidupan. Kekayaan dan kenikmatan yang Allah berikan justru bagian dari ujian, apakah kita bersyukur atau kita kufur. Dan kalau Allah SWT tidak memberikan kekayaan dan kenikmatan, seharusnya kita bahagia. Sebab tidak ada ujian yang berat. Semakin ringan ujian, tentu akan semakin besar kemungkinan kita lulus, bukan?
Maka berbahagialah bila kita miskin, berarti ujian kita ringan. Sedangkan kalau kita kaya, ujian kita berat. Sebab satu demi satu kekayaan dan kenikmatan yang pernah kita rasakan akan dipertanyakan di akhirat nanti. Semua kenikmatan yang pernah kita kecap di dunia, harus kita pertanggung-jawabkan.
Kemudian kamu pasti akan ditanya tentang kenikmatan pada hari itu (kiamat). (QS At-Takatsur: 8)
Dan nabi kita itu telah mencontohkannya secara langsung tentang bagaimana cara hidup yang mudah tanpa harus mempertanggung-jawabkan ini dan itu di akhirat.
Wallahu a'lam bish-shawab, Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wa barakatuh
Ahmad Sarwat, Lc.
http://www.eramuslim.com/ks/us/59/21250,1,v.html
0 Komentar:
Post a Comment
<< Home